Kamis, 29 Juli 2010

KEJAHATAN - KEJAHATAN DI DUNIA CYBER
1.1 Arti dan Jenis Kejahatan Di Dunia Cyber
Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi manfaat juga
menimbulkan ekses negatif dengan terbukanya peluang Dan Di Salah Gunakannya teknologi
tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi yang dikerjakan secara elektronik.
Dalam jaringan komputer Tersebut Sebagai Berikut internet, masalah kriminalitas menjadi semakin
Oleh Karena itu ruang lingkupnya yang Sangat luas.
Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana yang
berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace
ataupun kepemilikan pribadi.
Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satunya Adalah versi
menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis, yaitu kejahatan dengan motif
intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan kerugian dan dilakukan
untuk kepuasan pribadi. Jenis kedua adalah kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau
kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi. Versi lain
membagi cybercrime menjadi tiga bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan
penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan Philip Renata
dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52 yaitu:
a. Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini termasuk
pencurian waktu operasi komputer.
b. Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal.
c. The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data
atau instruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, menjadikan tidak
terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pribadi atau orang lain.
d. Data Leakage, yaitu menyangkut bocornya data ke luar terutama mengenai data yang
harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu bisa berupa berupa rahasia negara,
perusahaan, data yang dipercayakan kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.
e. Data Diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara
tidak sah, mengubah input data atau output data.
f. To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.
g. Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi
HAKI.
Dari ketujuh tipe cybercrime tersebut, nampak bahwa inti cybercrime adalah
penyerangan di content, computer system dan communication system milik orang lain
atau umum di dalam cyberspace (Edmon Makarim, 2001: 12).
Pola umum yang digunakan untuk menyerang jaringan komputer adalah memperoleh
akses terhadap account user dan kemudian menggunakan sistem milik korban sebagai
platform untuk menyerang situs lain. Hal ini dapat diselesaikan dalam waktu 45 detik dan
mengotomatisasi akan sangat mengurangi waktu yang diperlukan (Purbo, dan Wijahirto,
2000: 9).
Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda
dengan kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas
teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan.
Bisa dipastikan dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan
internet hampir pasti akan terkena imbas perkembangan cybercrime ini.
Berita Kompas Cyber Media (19/3/2002) menulis bahwa berdasarkan survei AC Nielsen
2001 Indonesia ternyata menempati posisi ke enam terbesar di dunia atau ke empat di
Asia dalam tindak kejahatan di internet. Meski tidak disebutkan secara rinci kejahatan
macam apa saja yang terjadi di Indonesia maupun WNI yang terlibat dalam kejahatan
tersebut, hal ini merupakan peringatan bagi semua pihak untuk mewaspadai kejahatan
yang telah, sedang, dan akan muncul dari pengguna teknologi informasi (Heru Sutadi,
Kompas, 12 April 2002, 30).
Sementara itu As’ad Yusuf memerinci kasus-kasus cybercrime yang sering terjadi di
Indonesia menjadi lima, yaitu:
a. Pencurian nomor kartu kredit.
b. Pengambilalihan situs web milik orang lain.
c. Pencurian akses internet yang sering dialami oleh ISP.
d. Kejahatan nama domain.
e. Persaingan bisnis dengan menimbulkan gangguan bagi situs saingannya.
Khusus cybercrime dalam e-commerce, oleh Edmon Makarim didefinisikan sebagai
segala tindakan yang menghambat dan mengatasnamakan orang lain dalam perdagangan
melalui internet. Edmon Makarim memperkirakan bahwa modus baru seperti jual-beli
data konsumen dan penyajian informasi yang tidak benar dalam situs bisnis mulai sering
terjadi dalam e-commerce ini.
Menurut Mas Wigrantoro dalam BisTek No. 10, 24 Juli 2000, h. 52 secara garis besar ada
lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
a. Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan
integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah
kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
b. On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman
barang melalui internet.
c. Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi
pengguna maupun penyedia content.
d. Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang
dialirkan melalui internet.
e. Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui
internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi
hukum.
Saat ini di Indonesia sudah dibuat naskah rancangan undang-undang cyberlaw yang
dipersiapkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan
Departemen Perdagangan dan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung bekerja
sama dengan Departemen Pos dan telekomunikasi.
Hingga saat ini naskah RUU Cyberlaw tersebut belum disahkan sementara kasus-kasus
hukum yang berkaitan dengan kriminalitas di internet terus bermunculan mulai dari
pembajakan kartu kredit, banking fraud, akses ilegal ke sistem informasi, perusakan web
site sampai dengan pencurian data. Kasus yang terkenal diantaranya adalah kasus klik
BCA dan kasus bobolnya situs KPU.
Saat ini regulasi yang dipergunakan sebagai dasar hukum atas kasus-kasus cybercrime
adalah Undang-undang Telekomunikasi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Namun demikian, interpretasi yang dilakukan atas pasal-pasal KUHP dalam
kasus cybercrime terkadang kurang tepat untuk diterapkan. Oleh karena itu urgensi
pengesahan RUU Cyberlaw perlu diprioritaskan untuk menghadapi era cyberspace
dengan segala konsekuensi yang menyertainya termasuk maraknya cybercrime
belakangan ini.
1.2 Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah hukum siber diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Technology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual..
Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang
ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau
subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai
pada saat mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah
maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan
mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari
perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki
banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang
ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau
subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai
pada saat mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah
maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan
mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari
perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki
banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang
ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau
subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai
pada saat mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah
maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan
mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari
perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki
banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang
ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau
subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai
pada saat mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah
maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan
mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari
perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki
banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
1.3 Asas Hukum Untuk Dunia Cyber
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama
adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga
pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi
sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat
mudah disusupi, dintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.
Dalam ruang cyber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum
dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan
hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi
akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional,
dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the
jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to
enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang
biasa digunakan, yaitu : pertama, subjective territoriality, yang menekankan bahwa
keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan
penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain. Kedua, objective
territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana
akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan
bagi negara yang bersangkutan. Ketiga, nationality yang menentukan bahwa negara
mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan
pelaku. Keempat, passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan
kewarganegaraan korban. Kelima, protective principle yang menyatakan berlakunya
hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari
kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila
korban adalah negara atau pemerintah, dan keenam, asas Universality.
Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan
penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal
interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak
untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian
diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan
untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses,
namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk
kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan
pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas
wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi
oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan
antara legally significant (online) phenomena and physical location.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana
pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional,
beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace
diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law
of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma
yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum
disebut sebagai Lex Informatica.
Sengketa-sengeketa di ruang cyber juga terkait dengan Hukum Perdata Internasional,
antara lain menyangkut masalah Kompetensi forum yang berperan dalam menentukan
kewenangan forum (pengadilan dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata
internasional (HPI). Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI : pertama, the
principle of basis of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan
untuk mengadili ditentukan oleh tempat tinggal tergugat. Kedua, principle of
effectiveness yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan oleh di
mana harta-benda tergugat berada. Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan
berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan asing (foreign judgement
enforcement).
Asas kompetensi ini harus dijadikan dasar pilihan forum oleh para pihak dalam
transaksi e-commerce. Kekecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika ada
jaminan pelaksanaan putusan asing, misalnya melalui konvensi internasional. .
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat
dikemukakan beberapa teori sebagai berikut : Pertama The Theory of the Uploader
and the Downloadr Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam
wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat
bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap
orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam
wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading
kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang
menggunakan jurisdiksi ini.
Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di
mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data
elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford
University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan
apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing. Ketiga The Theory of International
Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah
tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni
sovereignless quality.

KESIMPULAN
Perkembangan teknologi informasi (TI) dan khususnya juga Internet ternyata tak hanya
mengubah cara bagaimana seseorang berkomunikasi, mengelola data dan informasi,
melainkan lebih jauh dari itu mengubah bagaimana seseorang melakukan bisnis. Banyak
kegiatan bisnis yang sebelumnya tak terpikirkan, kini dapat dilakukan dengan mudah dan
cepat dengan model-model bisnis yang sama sekali baru. Begitu juga, banyak kegiatan
lainnya yang dilakukan hanya dalam lingkup terbatas kini dapat dilakukan dalam
cakupan yang sangat luas, bahkan mendunia.
Namun, lebih dari itu, perubahan-perubahan yang terjadi juga dinilai sangat revolusioner.
Munculnya bisnis dotcom, meski terbukti sebagian besar mengalami kegagalan, tetapi
sebagian besar lainnya mengalami keberhasilan, dan sekaligus ini dianggap fenomenal.
Karena selain itu merupakan sesuatu yang sama sekali baru, dimensinya pun segera
mendunia
Di sisi lain, perkembangan TI dan Internet ini, juga telah sangat mempengaruhi hampir
semua bisnis di dunia untuk terlibat dalam implementasi dan menerapkan berbagai
aplikasi. Banyak manfaat dan keuntungan yang bisa diraih kalangan bisnis dalam kaitan
ini, baik dalam konteks internal (meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi), dan
eksternal (meningkatkan komunikasi data dan informasi antar berbagai perusahaan
pemasok, pabrikan, distributor) dan lain sebagainya.
Namun, terkait dengan semua perkembangan tersebut, yang juga harus menjadi perhatian
adalah bagaimana hal-hal baru tersebut, misalnya dalam kepastian dan keabsahan
transaksi, keamanan komunikasi data dan informasi, dan semua yang terkait dengan
kegiatan bisnis, dapat terlindungi dengan baik karena adanya kepastian hukum. Mengapa
diperlukan kepastian hukum yang lebih kondusif, meski boleh dikata sama sekali baru,
karena perangkat hukum yang ada tidak cukup memadai untuk menaungi semua
perubahan dan perkembangan yang ada.
Masalah hukum yang dikenal dengan Cyberlaw ini tak hanya terkait dengan keamanan
dan kepastian transaksi, juga keamanan dan kepastian berinvestasi. Karena, diharapkan
dengan adanya pertangkat hukum yang relevan dan kondusif, kegiatan bisnis akan dapat
berjalan dengan kepastian hukum yang memungkinkan menjerat semua fraud atau
tindakan kejahatan dalam kegiatan bisnis, maupun yang terkait dengan kegiatan
pemerintah
Banyak terjadi tindak kejahatan Internet (seperti carding), tetapi yang secara nyata hanya
beberapa kasus saja yang sampai ke tingkat pengadilan. Hal ini dikarenakan hakim
sendiri belum menerima bukti-bukti elektronik sebagai barang bukti yang sah, seperti
digital signature. Dengan demikian cyberlaw bukan saja keharusan melainkan sudah
merupakan kebutuhan, baik untuk menghadapi kenyataan yang ada sekarang ini, dengan
semakin banyak terjadinyanya kegiatan cybercrime maupun tuntutan komunikasi
perdaganganmancanegara (cross border transaction) ke depan.
Karenanya, Indonesia sebagai negara yang juga terkait dengan perkembangan dan
perubahan itu, memang dituntut untuk merumuskan perangkat hukum yang mampu
mendukung kegiatan bisnis secara lebih luas, termasuk yang dilakukan dalam dunia
virtual, dengan tanpa mengabaikan yang selama ini sudah berjalan. Karena, perangkat
hukum yang ada saat ini ditambah cyberlaw, akan semakin melengkapi perangkat hukum
yang dimiliki. Inisiatif ini sangat perlu dan mendesak dilakukan, seiring dengan semakin
berkembangnya pola-pola bisnis baru tersebut.
Sejak Maret 2003 lalu Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (Menkominfo)
mulai menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik (IETE) - yang semula bernama Informasi, Komunikasi dan
Transaksi Elektronik (IKTE). RUU ITE itu merupakan gabungan dari dua RUU, yaitu
RUU tentang Pemanfaatan TI (PTI), dan Tandatangan Elektronik dan Transaksi
Elektronik (TE). RUU PTI disusun oleh Ditjen Pos dan Telekomunikasi, Departemen
Perhubungan, bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
(Unpad) dan Tim asistensi dari ITB. Sedang RUU TE dimotori oleh Lembaga Kajian
Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia (UI) dengan jalur Departemen Perindustrian
dan Perdagangan.
RUU tersebut dimaksudkan menjadi payung bagi aturan-aturan yang ada di bawahnya.
Hanya saja, jika semua aspek dimasukkan, sehingga menjadi sangat luas, bisa jadi justru
membingungkan, sehingga pengimplementasiannya menjadi tidak optimal. Idealnya,
pemerintah perlu membuat UU untuk setiap bagian khusus seperti digital signature, ebanking,
e-Governmet, atau UU spesifik lainnya. Tetapi, itu harus mau menunggu lebih
lama lagi karena sampai saat ini belum ada pegangan dalam bentuk UU lain. Sementara
jumlah topik yang harus dibahas sangat banyak.
Yang menarik, RUU PTI juga mengatur perluasan masalah yurisdiksi yang
memungkinkan pengadilan Indonesia mengadili siapa saja yang melakukan tindak pidana
bidang TI yang dampaknya dirasakan di Indonesia. Contohnya, jika cracker asing
melakukan kejahatan terhadap satu bank di Indonesia, maka berdasarkan pasal 33 dan 34
RUU PTI, pengadilan Indonesia berwenang mengadili orang itu jika masuk ke Indonesia.
Selama ini, kejahatan yang melibatkan orang Indonesia dan asing sangat marak, namun
penyidikan kejahatan cyber tersebut selalu terganjal masalah yurisdiksi ini.
Hal tersebut seharusnya memang diantisipasi sejak awal, karena eksistensi TI dengan
perkembangannya yang sangat pesat telah melahirkan kecemasan-kecemasan baru seiring
maraknya kejahatan di dunia cyber yang semakin canggih. Lebih dari itu, TI yang tidak
mengenal batas-batas teritorial dan beroperasi secara maya juga menuntut pemerintah
mengantisipasi aktivitas-aktivitas baru yang harus diatur oleh hukum yang berlaku,
terutama memasuki pasar bebas AFTA yang telah dimulai awal tahun ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar